Politik Memanas: Kisruh RUU di Senayan dan Suara Rakyat yang Tersisih
Situasi Memanas di Gedung DPR RI
Mediajawa.id - Jakarta kembali menjadi pusat perhatian nasional pada Jumat sore, 26 Juli
2025. Saat itu, saya berada langsung di halaman Gedung DPR RI, menyaksikan
bagaimana ratusan warga dan mahasiswa berkumpul dalam aksi damai untuk menolak
pembahasan RUU Kontrol Informasi Publik yang menurut banyak pihak dinilai
mengancam kebebasan berekspresi.
Sekitar pukul 14.15 WIB, suasana mulai memanas. Beberapa peserta aksi
mencoba mendekat ke pagar utama gedung DPR dengan membawa spanduk bertuliskan “Rakyat
Berhak Tahu!” dan “RUU Ini Membungkam Kebenaran!”. Saya mencatat
dengan cepat melalui perekam suara dan mencocokkannya dengan siaran langsung
dari kanal resmi DPR untuk memastikan sinkronisasi informasi.
Saya sendiri telah meliput isu-isu politik nasional sejak tahun 2012, dan
melihat kemiripan pola: proses legislasi yang berlangsung kilat tanpa
konsultasi publik yang memadai. RUU ini, menurut penuturan narasumber saya dari
Fraksi PKB, telah dibahas intens sejak Mei namun belum pernah disosialisasikan
secara transparan kepada masyarakat luas.
Pernyataan Eksklusif dari Dalam DPR
Selang 20 menit setelah aksi massa semakin ramai, saya menerima pesan
singkat dari salah satu anggota DPR dari Fraksi PDIP yang menyatakan bahwa "RUU
ini masuk tahap finalisasi dan akan disahkan dalam rapat paripurna pekan
depan." Pernyataan ini jelas bertentangan dengan janji sebelumnya yang
menyebutkan bahwa akan ada diskusi publik lanjutan.
Melalui aplikasi terenkripsi, saya juga mendapat rekaman suara dari rapat
tertutup yang berlangsung pagi itu. Dari rekaman itu, terdengar jelas bagaimana
beberapa anggota komisi menyuarakan kekhawatiran bahwa pasal-pasal dalam RUU
ini berpotensi mengekang jurnalisme investigatif.
Saya menyampaikan fakta ini dalam siaran langsung di kanal berita kami,
agar publik tahu bahwa ada perbedaan narasi antara yang disampaikan ke media
dan yang dibahas secara tertutup.
Perspektif Akademisi: Demokrasi yang Kian Terkikis
Untuk memberikan kedalaman pada pelaporan ini, saya menghubungi Dr. Rizal
M. Lutfi, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia. Dalam wawancara
melalui Zoom, ia menyebutkan bahwa RUU ini tidak sejalan dengan prinsip-prinsip
dasar demokrasi.
“Kalau kita lihat pasal 7 hingga 9, jelas ada unsur represi terhadap hak
publik. Informasi didefinisikan secara sempit, dan itu membuka peluang
kriminalisasi terhadap jurnalis maupun whistleblower.”
Dr. Rizal juga menambahkan bahwa prosedur pembahasan yang minim
partisipasi publik melanggar semangat deliberatif dalam demokrasi.
Suara Aktivis: “Kami Tak Lagi Didengar”
Di luar gedung DPR, saya sempat berbincang dengan beberapa aktivis dari
Aliansi Warga Menolak Bungkam. Salah satunya, Diah Wulandari, menyatakan rasa
frustrasi karena kanal partisipasi formal seperti RDPU (Rapat Dengar Pendapat
Umum) justru ditiadakan.
“Kami sudah kirim surat audiensi sejak dua minggu lalu, tapi tak pernah
dibalas. Lalu sekarang tiba-tiba mau disahkan? Rakyat dianggap apa?”
Kemarahan seperti ini bukan tanpa alasan. Berdasarkan pantauan saya
selama lebih dari satu dekade, ini adalah kali ketiga dalam lima tahun terakhir
DPR membahas RUU kontroversial tanpa konsultasi publik yang layak.
Data dan Dokumen RUU yang Bocor
Sebagai bagian dari tim investigasi internal Mediajawa, saya turut
memverifikasi dokumen RUU versi ketiga yang bocor ke publik melalui platform
whistleblowing. Dalam dokumen tersebut, terdapat sejumlah pasal yang membuka
peluang pelarangan penerbitan konten yang “mengganggu stabilitas negara,”
istilah yang sangat lentur dan multitafsir.
Saya membandingkan versi itu dengan draf resmi yang sempat dirilis
singkat oleh Sekretariat Jenderal DPR. Perbedaannya sangat mencolok, terutama
dalam pasal 11 dan 13 yang memberi wewenang penuh kepada kementerian tertentu
untuk menyensor media.
Hal ini juga diperkuat oleh laporan berita terbaru yang menyebutkan bahwa beberapa
LSM dan jurnalis independen kini tengah mengajukan judicial review atas draft
tersebut.
Perspektif Internasional: Kecaman dari Luar Negeri
Tak hanya di dalam negeri, organisasi internasional seperti Reporters
Without Borders dan Amnesty International juga telah mengeluarkan pernyataan
resmi yang mengkritisi proses legislasi RUU ini.
Dalam email resmi yang saya terima pada malam hari tanggal 26 Juli,
Amnesty menulis:
“Indonesia sedang bergerak ke arah yang berbahaya bagi kebebasan pers.
Jika disahkan, ini akan menjadi preseden buruk di kawasan Asia Tenggara.”
Saya juga telah menghubungi perwakilan dari Kedutaan Besar Belanda yang
tengah memantau perkembangan ini dan menyatakan keprihatinan atas potensi
penurunan indeks demokrasi Indonesia.
Respons Pemerintah: Bungkam atau Klarifikasi?
Saya mencoba menghubungi juru bicara presiden dan Menteri Kominfo. Namun
hingga artikel ini diterbitkan, tidak ada tanggapan resmi yang diberikan.
Beberapa media nasional menyebut bahwa pemerintah justru sedang mematangkan
strategi komunikasi publik agar tidak terjadi gelombang penolakan lebih luas.
Sumber internal yang saya kenal di lingkungan kementerian menyebutkan
bahwa kemungkinan besar presiden tidak akan menyampaikan pernyataan terbuka
sebelum RUU ini resmi disahkan.
Perbandingan dengan Situasi Serupa di Masa Lalu
Jika kita mundur ke tahun 2019, saat UU KPK direvisi, pola komunikasi dan
legislasi yang tertutup seperti ini juga terjadi. Saya meliput langsung saat
itu dan menyaksikan bagaimana ribuan mahasiswa turun ke jalan karena merasa
suara mereka diabaikan.
Kesamaan pola ini semakin menegaskan bahwa krisis partisipasi publik
dalam demokrasi Indonesia bukan hal baru, dan kali ini—dengan isu kontrol
informasi—taruhannya lebih besar karena menyangkut hak dasar seluruh warga
negara.
Apa yang Bisa Dilakukan Publik?
Sebagai jurnalis, saya tidak hanya ingin melaporkan, tetapi juga membuka
ruang partisipasi. Saat ini, berbagai petisi online sudah mulai ramai di media
sosial, dan saya mengimbau agar masyarakat yang peduli terhadap transparansi
bisa turut serta menyuarakan pendapat.
Selain itu, masyarakat dapat mengikuti berita terbaru melalui Mediajawa.id untuk update harian dan analisis mendalam dari tim redaksi kami.
Catatan Penulis:
Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman langsung peliputan di lapangan, wawancara dengan pihak DPR, aktivis, akademisi, serta telaah dokumen legislatif yang belum dipublikasikan secara luas. Semua fakta diverifikasi oleh tim editorial Mediajawa.id sebelum dipublikasikan.